Jumat, 20 Februari 2009

KAY & LILA (1)

“Orang-orang buangan!”


Seruan Kit mengejutkan seluruh anggota rombongan. Mereka segera bersikap waspada, tak terkecuali Lila. Gadis itu memicingkan mata, memandang curiga pada tiga orang yang tengah berjalan kaki menuju rombongan mereka.

Ketiga orang itu terdiri dari seorang pria, seorang wanita dan seorang anak laki-laki. Tubuh mereka kotor, pakaian pun mereka compang-camping. Sang pria bahkan bertelanjang dada. Barangkali baju yang ia kenakan sebelumnya diberikan pada anak laki-laki itu, pikir Lila saat melihat pakaian si anak laki-laki yang kebesaran.


“Mau apa kalian?” bentak Kit.


Lila merasa Kit agak keterlaluan mengingat ketiga orang itu tampaknya tidak berbahaya. Tapi yah, memang, siapa yang tahu?


Sang wanita mengangkat tangan si anak laki-laki yang digandengnya sejak tadi dengan tatapan pilu. Lila merasakan kesedihan mendalam dalam tatapan itu. Tatapan seseorang yang akan kehilangan seseorang yang dicintainya. Lila pun pernah mengalaminya. Dulu sekali....


“Anak ini….Tolong bawa dia ke Citadel One....” pinta wanita tersebut, memelas dengan suaranya yang serak. Sepertinya ia menahan tangis.


“Dia anak kami. Dia lahir dua tahun setelah kami dibuang. Meski kami orang buangan, anak kami bukan. Karena itu, tolong bawa dia…. Anda semua adalah orang-orang ketiga belas yang kami mintai tolong. Kami mencintai anak kami, tapi kami juga ingin yang terbaik untuknya,” sahut sang pria. Tampaknya ia lebih tegar, namun bukan berarti tak merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang wanita.


Rupanya mereka satu keluarga, kata Lila dalam hati, lalu menatap anak laki-laki tersebut.


Anak laki-laki itu berusia empat atau lima tahun. Wajahnya tampan dan menggemaskan. Meski tidak terawat, tampaknya ia berkulit putih. Lila tertarik pada rambutnya yang ikal. Rambut yang mengingatkannya pada seseorang di masa lalu…. Seseorang yang sudah sangat dekat dengannya, namun direnggut paksa darinya….


Ditatap oleh orang asing tak membuat anak itu gentar. Ia bahkan membalas tatapan Lila. Lila tersenyum. Ah, anak yang berani.


“Apa? Enak saja! Kalian pikir kami ini panti asuhan, apa? Lagipula, kami tidak mau mengambil risiko mengambil anak kalian. Bisa susah, nanti. Kalian orang-orang liar, tidak beradab. Anak kalian pasti juga seperti itu!” tolak Kit dengan suara melengking.


“Tolonglah…. Kalian tidak harus merawatnya. Dipekerjakan juga boleh. Yang penting ia tidak tinggal di sini. Kami hanya ingin agar ia hidup aman,” balas sang pria, memelas.


“Aku yang akan membawanya,” sela Lila, sekonyong-konyong.


Seisi rombongan terkejut. Mereka menggumam. Tidak jelas, namun nadanya tidak enak.


“Apa?! Yang benar saja! Bagaimana dengan keluargamu nanti? Lagipula aku tidak mau anak ini masuk dalam kehidupan kita!” sergah Kit, kesal dan tak memercayai pendengarannya sendiri.


“Aku sudah dewasa dan mandiri. Soal aku mau mengambil anak ini, itu urusanku sendiri. Lagipula, kau tidak akan pernah terlibat dalam hidupku, karena memang tidak pernah ada hubungan apa-apa di antara kita,” balas Lila tak kalah kerasnya.

Kit terhenyak. Ia tak mengira bahwa Lila sanggup berkata demikian padanya. Di depan banyak orang, pula.


Tak lama kemudian, anak laki-laki itu sudah duduk di dalam kendaraan Lila dan Lan, sahabatnya. Ayahnya tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Lila, sementara ibunya tak berhenti menangis.


Lila mengerti mengapa mereka sampai bersikap demikian. Bukan hanya karena merasa terharu sebab anaknya akan hidup di tempat yang lebih baik mau pun karena merasa sedih akan berpisah dengan anak tercinta. Lebih dari itu, mereka pasti lega karena berhasil ‘menyelamatkan’ anaknya.


“Pembangunan Cube sudah selesai dan orang-orang buangan sedang ditangkapi untuk dimasukkan ke dalamnya. Orangtua mana pun pasti lebih memilih menyerahkan anaknya pada orang lain daripada membiarkannya ikut mereka ke Cube,” cetus Lan sambil menoleh ke tempat duduk anak laki-laki itu di belakang. Anak itu masih membisu. Hanya air mata yang menjadi bukti kesedihannya.


Lila tertegun mendengar kata-kata Lan. Mungkinkah dia sudah dijebloskan ke Cube?


“Belum, Lila. Dia masih berkeliaran bebas. Temanku yang bertugas di Cube sudah kuminta agar mengabariku kalau dia dimasukkan ke sana. Jangan khawatir,” lanjut Lan, membaca pikiran Lila.


Lila tidak tahu, apakah ia harus merasa lega atau tidak. Baginya tidak ada pilihan. Dia masih bebas di alam liar yang berbahaya seperti ini atau dimasukkan ke Cube untuk diperbudak dan dianiaya adalah pilihan yang sama beratnya. Dua-duanya sama saja. Membunuh dia pelan-pelan….


Namun, di dunia ini memang berlaku hukum kebetulan. Ini benar adanya. Sebab, hanya sesaat setelah Lila memikirkan dia, lagi-lagi rombongan mereka terpaksa berhenti sesaat.


Mereka terhalang oleh rombongan lain yang sedang melintas di depan mereka. Jika dalam rombongan Lila semua anggotanya menumpangi kendaraan, rombongan lain tersebut hanya terdiri atas delapan kendaraan yang mengawal sekitar seratus orang yang berjalan kaki dengan tubuh terikat dan kaki dirantai. Beberapa di antara bahkan diperlakukan lebih keras dengan terus dicambuki meski sudah kepayahan karena berjalan kaki puluhan kilometer. Keji.


“Mereka pasti orang-orang yang akan dibawa ke Cube!” seru Kit.


Kit tak perlu menyimpulkannya. Semua orang sudah tahu, termasuk Lila dan Lan. Apalagi Lila yang segera mengamati wajah para tahanan itu satu per satu meski bimbang, haruskah ia berharap menemukan wajah yang dikenalinya atau tidak?


Ternyata, ia menemukannya!


Ya, di antara para tahanan yang terus dicambuki, ia menemukan satu wajah yang sangat ia kenali. Wajah yang selama ini ia rindukan dan ia cari secara diam-diam. Meski wajah itu babak belur, Lila yakin, itu wajah dia!


“Kay!” seru Lila, memanggil nama yang ia yakini sebagai nama si pemilik wajah yang selalu ia rindukan itu.


Tanpa peduli pada teguran Lan, Lila segera melompat keluar dari kendaraannya. Ia bergegas menyongsong tahanan yang malang itu.


“Gawat!” cetus Kit panik. Bersama Lan, ia menyusul Lila yang hendak memeluk tahanan tersebut.


“Kay!”


Lila sudah memeluk tahanan itu. Yang dipeluk tampak terkejut. Sesaat kemudian ia tampak panik. Ia menggeleng-geleng dan berupaya menarik tubuhnya dari pelukan Lila.


“Hei, Non! Apa yang kau lakukan?!” bentak seorang pengawal dari atas kendaraannya. Ia hampir mencambuk Lila, namun Lan yang gesit berhasil mencegahnya dengan merebut cambuk tersebut.


Melihat hal itu, para pengawal lain menjadi marah. Sebelum mereka bertindak lebih jauh, Kit berupaya menenangkan.


“Tenang, tenang, Bapak-Bapak. Kami tidak bermaksud jahat. Tunangan saya ini hanya salah mengenali orang,” kata Kit sambil menghapus peluh yang mulai membasahi keningnya.


Lila terhentak mendengar kata ‘tunangan’ yang diucapkan Kit. Anehnya, tawanan yang dipeluknya pun tampak terkejut.


“Aku bu….” Lila hendak protes, namun buru-buru dicegah oleh Lan.


“La, dia bukan Kay, teman kita. Kay ‘kan sudah mati….” potong Lan dengan nada membujuk. Membuat tahanan yang dipeluk Lila memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Tampaknya ia sulit menerima kata-kata Lan, namun tak kuasa menolak.


“Tapi….”


“Sudahlah. Yuk, kita pergi dari sini. Perjalanan kita masih jauh.”


Lila berkeras saat Lan hendak melepaskan pelukannya. Ia masih percaya bahwa yang dipeluknya adalah Kay.


“Tidak. Apa kalian tidak lihat? Dia Kay kita!


Mencium gelagat buruk, Kit buru-buru menghampiri komandan pasukan pengawal. Mereka kemudian terlibat dalam pembicaraan serius. Sesekali sang komandan melihat ke Lila. Tak lama kemudian, pembicaraan selesai. Sang komandan berpaling pada tahanan yang diduga sebagai Kay tersebut.


“Kau kenal gadis ini?” tanyanya dengan nada membentak.


Jawabannya adalah gelengan perlahan. Namun maknanya dalam.


Lila menatapnya tak percaya. Ia terhenyak oleh penolakan itu.


“Nah, benar ‘kan…. Dia bukan Kay. Kita pergi dari sini, yuk!” ajak Lan, menarik tubuh Lila.


Lila yang sedang terguncang tak melawan lagi. Seperti orang linglung ia memandang kepergian rombongan tahanan tersebut. Air matanya baru mengalir saat rombongannya sendiri mulai bergerak melanjutkan perjalanan. Ia masih percaya bahwa Kay masih hidup.


Namun Lila tidak tahu bahwa sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, Kit berbisik pada Lan.


“Mudah-mudahan orang itu memang bukan Kay.”


“Kenapa? Tapi dia memang mirip sekali dengan Kay.”


“Gawat kalau dia benar-benar Kay. Sebab, menurut komandan, tahanan itu adalah Attila. Tahanan lain yang dicambuki bersamanya adalah anak buahnya. Mereka tertangkap kemarin dan akan diadili di Cube. Kemungkinan akan dihukum mati. Karena ini ‘tangkapan’ besar, tampaknya akan dilaksanakan di depan umum, yaitu di….”


“Citadel One….” sela Lan dengan nada lirih.


Keduanya lalu termenung. Kasihan Lila.


Namun itu belum apa-apa. Lila pun tidak tahu bahwa tahanan yang ia sangka adalah Kay, mati-matian menahan diri agar tidak menengok ke arah Lila. Ia memang lebih suka jika Lila mengira dirinya telah mati agar tak lagi membuat gadis itu larut dalam kesedihan dan kerinduan. Cukup ia saja yang mengalaminya….


Selanjutnya..

Selasa, 03 Februari 2009

KEMBALIKAN ELANG!

Akhirnya, abangku datang untuk mengantarkan seorang anak laki-laki yang dalam mimpi sekalipun, tak pernah kuharapkan. Elang, anak yang juga adalah adik dari anak-anakku itu, sebelumnya tinggal bersama abangku. Sebab, sebelumnya kami tidak bisa menerimanya. Tepatnya, aku yang tidak mau....

Namun, kali ini, kami terpaksa menerima Elang di dalam rumah kami. Sebab, kami tak tega. Bukan pada Elang, melainkan pada abangku yang sudah kerepotan mengurus tiga orang anak dan seorang istri yang sakit keras.

Dahulu, Elang diasuh oleh pembantu abangku dengan cinta bagai seorang ibu. Namun setelah pembantu itu meninggal dunia, abangku tak dapat menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya hingga mau tak mau, aku harus melibatkan diri. Sebab, aku... memang harus terlibat.

Sebenarnya kakakku yang lain—perempuan—menawarkan diri mengasuh Elang. Namun kutolak karena—lagi-lagi—aku tak tega. Sebab, kakakku dan suaminya sudah kalang-kabut mengasuh dua anak laki-laki mereka yang keluar-masuk rumah sakit jiwa. Jadi mengapa harus kutambah penderitaan mereka dengan membiarkan Elang tinggal bersama mereka? Aku tidak setega itu....

Sudah saatnya aku mengalah. Cukup sudah pengorbanan abangku. Meskipun berat, aku harus menerima Elang, anak yang—kalau bisa—ingin kulenyapkan saja dari hadapanku....

***

Sebulan di rumah ini, aku tetap merasa canggung dan tentu saja tak betah. Meski ada Kak Dara yang baik dan ramah, aku masih was-was nyaris setiap saat.

Aku cemas setiap kali bertemu dengan Kak Rajawali, abang yang pernah memojokkan dan mengancamku di sudut kamar. Aku juga masih tak berani memandang wajah suami Mama yang senantiasa berubah bak topeng yang keras dan kaku setiap kali melihatku.

Barangkali aku memang takut pada dua orang laki-laki di rumah ini. Tetapi perasaan itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan perasaanku setiap kali bertemu dengan wanita yang kupanggil ‘Mama’ itu.

Setiap bertemu dengan Mama di ruangan mana saja di rumah ini, aku berubah menjadi robot peot yang kikuk menunggu perintah penciptanya. Kalau Mama melintas di depanku, aku mematung seperti diikat dengan kabel-kabel yang mencuat dari tubuhku sendiri. Di meja makan, aku akan diam dengan tangan di bawah meja sebelum Mama—dengan perintah seorang kreator—menyuruhku mengambil makanan.

“Kau kurus sekali,” kata Papa sambil memegang tanganku. Petang itu kami memang bertemu di sebuah rumah makan.

Aku diam saja. Apa yang harus kukatakan? Papa sudah tahu semuanya.

Papa memesan makanan, apa pun yang kuinginkan. Aku sampai terbelalak, tak yakin dapat menghabiskan apa yang terhidang di meja.

Papa sendiri hanya minum kopi secangkir. Ia tersenyum, sesekali mengacak-acak rambutku. Barangkali geli—atau mungkin iba?—melihatku makan dengan rakus.

“Bagaimana? Sudah kau pikirkan tawaran Papa?” tanya Papa setelah aku menandaskan isi piringku.

Aku menggeleng. Papa mengerutkan kening.

“Mama tidak akan setuju. Om dan Tante juga pasti mendukung Mama,” jelasku, pura-pura menunduk untuk menyedot habis jus alpukat. Aku tak tega memandang wajah kecewa Papa.

Kudengar tarikan berat nafas Papa. Papa pasti tak habis pikir, mengapa aku masih bertahan menerima perlakukan Mama.

“Saya tahu, Mama tidak sama dengan Bu Mawar. Tapi, apa salahnya kalau saya berharap suatu saat nanti Mama akan sama dengan Bu Mawar?”

Papa tersenyum tipis lalu mengangkat daguku.

“Papa memang telah membuat kalian menderita, tetapi Papa ingin memperbaiki akibat dari perbuatan Papa. Terhadap Mama-mu, Papa mungkin tak punya kesempatan lagi. Tapi terhadap kau, Papa bisa melakukan semua yang terbaik, yang kau ingini dan perlukan. Sementara, bertahan bersama Mama-mu tidak akan membawa kebaikan bagimu dan bagi Mama-mu. Sampai kapan pun, Mama-mu tak akan menyayangimu sebagai anaknya. Camkan itu,” urai Papa, lembut namun ‘keras’.

“Saya akan berusaha, Pa.”

“Usaha apa? Berdekatan dengan Mama-mu saja kau tak berani.”

Aku tersenyum kecut. Papa benar. Aku memang takut pada Mama.

Selesai makan, aku pamit. Papa tak kuberi kesempatan memengaruhiku lebih jauh.

“Biar Papa antar,” cetus Papa menarik tanganku.

Aku menepis halus tangan Papa. Jangan sampai Mama melihatku pulang diantar oleh Papa. Bisa terjadi ‘perang besar’.

Papa menarik nafas lagi. Aku kembali mengecewakan beliau.

***

“Jadi kemarin kau menemui orang itu?” aku mengulangi pertanyaanku.

Sekali lagi, Elang mengangguk lemah. Dara yang duduk di sisinya, merangkulnya dengan erat. Memberi dukungan. Anak perempuanku itu tampaknya bersiap menjadi penengah jika aku ‘meledak’ di depan Elang.

“Untuk apa?”

“Papa mengajak saya ikut dengannya, Ma.”

“Ke mana? Apa yang akan kalian lakukan?”

“Saya tidak tahu, Papa belum bicara banyak.”

“Aneh sekali, mengajak pergi anak lima belas tahun tapi tak mau berterus terang. Jangan-jangan dia mau melakukan hal yang buruk padamu seperti yang dulu dia lakukan terhadapku. Lalu, apa jawabanmu?” cetusku sinis namun juga ingin tahu.

“Saya tolak, Ma. Saya ingin ikut Mama. Saya sayang Mama.”

Jawaban Elang itu tentunya untuk menarik hatiku. Namun caranya menjawab yang mirip orang berbisik itu sudah cukup untuk membuatku menautkan alis.

“Kau pikir aku akan menerimamu selamanya di sini? Tidak. Kami sedang mencari cara agar kau keluar dari rumah ini. Tapi aku juga tak mau menyerahkanmu pada orang itu. Dia tak boleh mendapatkan apa yang dia mau, yaitu kau! Mungkin kami akan mengirimmu ke panti asuhan atau apa-lah. Yang penting aku dan orang itu tak bisa lagi melihatmu.”

“Mama!” sergah Dara.

Aku tahu, Dara terkejut mendengar perkataanku. Mungkin dulu ia mengira hatiku melunak saat menerima Elang di rumah ini. Kini dia tahu, dia telah salah menilai.

“Untuk kau ketahui,” lanjutku pada Elang karena aku belum puas bicara, “aku melihat wajah orang itu di wajahmu. Aku muak, benci pada laki-laki itu. Jadi, kalau kau memang benar-benar menyayangiku, tinggalkan aku. Tapi jangan sakiti aku lagi dengan menyebut orang itu sebagai Papa, apalagi mengikutinya.”

Raut Elang nyaris tak berubah saat aku menumpahkan kebencianku. Barangkali dia memang sudah menduga dan menyiapkan diri untuk menghadapinya. Harus kuakui, dia memang anak yang tegar. Salut pada Mawar yang telah mendidiknya hingga menjadi manusia setangguh itu. Benar-benar berbeda denganku...

Hening sesaat. Aku menunggu reaksi Elang, sementara Dara mengeratkan rangkulannya pada Elang.

“Ma, Kak, saya ke kamar dulu,” pamit Elang sekonyong-konyong, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Aku hanya mendengus. Dara memandangku tajam, tapi tak kuhiraukan. Aku sudah menumpahkan semuanya. Aku sudah puas.

***

Kak Dara memang kakak yang baik. Aku tahu, dia ingin menghiburku. Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, pintu kamar telah kututup. Aku butuh ketenangan dalam memikirkan apa yang baru saja kualami.

Di saat seperti ini, aku merasa kesal pada Mama. Bukan karena kata-katanya padaku, melainkan karena Mama tak mengizinkan aku membawa satu barang pun dari rumah Om saat aku masuk ke rumah ini. Pakaian dan barang-barang lain yang kupakai saat ini adalah ‘warisan’ dari Kak Rajawali. Aku tak punya ranjang, hanya tidur beralaskan tikar dan selimut pemberian Kak Dara di kamar yang sebenarnya bekas gudang ini. Aku tak punya apa-apa, termasuk foto almarhumah Bu Mawar, pembantu pamanku yang dulu mengasuhku. Mama menyuruhku memberikan foto itu—dan barang-barangku yang lain—pada Om saat aku memasuki rumah ini.

Padahal aku butuh foto itu. Atau benda apa saja yang mengingatkan aku pada Bu Mawar, perempuan yang sempat kusangka sebagai ibuku. Aku... aku rindu pada Bu Mawar.

Kurebahkan diri di lantai tanpa beralaskan tikar. Dingin, tapi aku tak peduli. Hanya ini cara agar aku bisa mengenang Bu Mawar karena dulu, dulu sekali, kami sering berbaring di lantai sambil berbicara tentang banyak hal. Aku suka memeluknya hingga terlelap. Sampai saat ini, aku masih merasa bahwa beliau-lah ibuku yang sebenarnya.

Kemudian, aku mulai menangis tanpa suara. Pupus sudah. Papa benar, Mama tak akan pernah sama dengan Bu Mawar. Mereka sangat berbeda.

***

Mau marah pun percuma. Sudah terjadi. Yang dapat kami lakukan hanya menghubungi polisi untuk melaporkan penculikan ini.

“Elang tidak diculik, Ma. Dia sendiri yang pergi menemui ayahnya,” ralat Dara di depan polisi muda itu.

“Ya, tapi dia tak akan pergi kalau kau tidak melepaskan kunci kamarnya,” sambar Rajawali, membela ibunya.

“Sebentar, sebentar. Maksudnya, anak itu Anda kurung?” sela polisi muda itu dengan nada curiga.

“Terpaksa, Pak,” jawab suamiku, “kalau tidak begitu, Elang akan lari dari rumah untuk bertemu ayahnya. Anak perempuan saya yang melepaskannya.”

“Tapi mengapa ia sampai harus dikurung di kamarnya?” desak polisi muda itu. Mungkin dia ‘mencium’ aroma penganiayaan dalam kasus ini.

Kami berempat tak langsung menjawab. Saling memandang satu sama lain, saling melemparkan tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan itu.

Akhirnya Rajawali yang memikul beban. Sebelum menjawab, ia memberiku kesempatan menyendiri di sebuah sudut agar aku tak perlu mendengar penjelasannya pada polisi muda itu.

Namun sejauh manapun, aku tetap bisa mendengar penjelasan Rajawali yang membuat hatiku nyeri...

“Ayah Elang adalah adik dari ibu saya. Lebih dari lima belas tahun lalu, dia memerkosa ibu saya. Saya melihatnya sendiri, waktu itu saya masih TK.... Elang sempat masuk panti asuhan. Tapi setelah ayahnya bebas dari penjara, Om saya yang lain mengasuhnya karena ayah Elang ingin mengambil Elang. Keluarga kami tidak ingin Elang jatuh ke tangan ayahnya....”

Rajawali terus menjelaskan, sementara polisi muda itu mendengarkan sambil sesekali menengok ke arahku. Dari tatapannya, aku tahu bahwa ia iba. Aku sering menerima tatapan seperti itu, meski dengan perasaan muak.

Aku tersentak saat Dara beringsut, duduk di sisiku.

“Elang lebih bahagia bersama ayahnya, Ma. Ikhlaskan saja, bukankah Mama tak perlu lagi melihatnya?” bisiknya menyindirku.

Aku menatapnya tajam. Mengikhlaskan Elang bersama orang itu sama saja dengan membahagiakan orang itu. Itu tak boleh terjadi!

Aku bangkit dan menghampiri polisi muda itu. Lalu mulai terisak.

“Tolong, Pak. Selamatkan Elang. Saya takut, ayahnya akan melakukan hal yang buruk. Saya tak mau Elang bernasib sama dengan saya...” ucapku dengan air mata menganak sungai. Air mata yang mengalir berkat aktingku yang hebat.

Dengan sudut mataku, kulihat Dara hanya menarik nafas. Berat sekali.

***

Diselesaikan dengan perbaikan seperlunya pada 1 Februari 2009


Selanjutnya..