“Orang-orang buangan!”
Seruan Kit mengejutkan seluruh anggota rombongan. Mereka segera bersikap waspada, tak terkecuali Lila. Gadis itu memicingkan mata, memandang curiga pada tiga orang yang tengah berjalan kaki menuju rombongan mereka.
Ketiga orang itu terdiri dari seorang pria, seorang wanita dan seorang anak laki-laki. Tubuh mereka kotor, pakaian pun mereka compang-camping. Sang pria bahkan bertelanjang dada. Barangkali baju yang ia kenakan sebelumnya diberikan pada anak laki-laki itu, pikir Lila saat melihat pakaian si anak laki-laki yang kebesaran.
“Mau apa kalian?” bentak Kit.
Lila merasa Kit agak keterlaluan mengingat ketiga orang itu tampaknya tidak berbahaya. Tapi yah, memang, siapa yang tahu?
Sang wanita mengangkat tangan si anak laki-laki yang digandengnya sejak tadi dengan tatapan pilu. Lila merasakan kesedihan mendalam dalam tatapan itu. Tatapan seseorang yang akan kehilangan seseorang yang dicintainya. Lila pun pernah mengalaminya. Dulu sekali....
“Anak ini….Tolong bawa dia ke Citadel One....” pinta wanita tersebut, memelas dengan suaranya yang serak. Sepertinya ia menahan tangis.
“Dia anak kami. Dia lahir dua tahun setelah kami dibuang. Meski kami orang buangan, anak kami bukan. Karena itu, tolong bawa dia…. Anda semua adalah orang-orang ketiga belas yang kami mintai tolong. Kami mencintai anak kami, tapi kami juga ingin yang terbaik untuknya,” sahut sang pria. Tampaknya ia lebih tegar, namun bukan berarti tak merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang wanita.
Rupanya mereka satu keluarga, kata Lila dalam hati, lalu menatap anak laki-laki tersebut.
Anak laki-laki itu berusia empat atau lima tahun. Wajahnya tampan dan menggemaskan. Meski tidak terawat, tampaknya ia berkulit putih. Lila tertarik pada rambutnya yang ikal. Rambut yang mengingatkannya pada seseorang di masa lalu…. Seseorang yang sudah sangat dekat dengannya, namun direnggut paksa darinya….
Ditatap oleh orang asing tak membuat anak itu gentar. Ia bahkan membalas tatapan Lila. Lila tersenyum. Ah, anak yang berani.
“Apa? Enak saja! Kalian pikir kami ini panti asuhan, apa? Lagipula, kami tidak mau mengambil risiko mengambil anak kalian. Bisa susah, nanti. Kalian orang-orang liar, tidak beradab. Anak kalian pasti juga seperti itu!” tolak Kit dengan suara melengking.
“Tolonglah…. Kalian tidak harus merawatnya. Dipekerjakan juga boleh. Yang penting ia tidak tinggal di sini. Kami hanya ingin agar ia hidup aman,” balas sang pria, memelas.
“Aku yang akan membawanya,” sela Lila, sekonyong-konyong.
Seisi rombongan terkejut. Mereka menggumam. Tidak jelas, namun nadanya tidak enak.
“Apa?! Yang benar saja! Bagaimana dengan keluargamu nanti? Lagipula aku tidak mau anak ini masuk dalam kehidupan kita!” sergah Kit, kesal dan tak memercayai pendengarannya sendiri.
“Aku sudah dewasa dan mandiri. Soal aku mau mengambil anak ini, itu urusanku sendiri. Lagipula, kau tidak akan pernah terlibat dalam hidupku, karena memang tidak pernah ada hubungan apa-apa di antara kita,” balas Lila tak kalah kerasnya.
Kit terhenyak. Ia tak mengira bahwa Lila sanggup berkata demikian padanya. Di depan banyak orang, pula.
Tak lama kemudian, anak laki-laki itu sudah duduk di dalam kendaraan Lila dan Lan, sahabatnya. Ayahnya tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Lila, sementara ibunya tak berhenti menangis.
Lila mengerti mengapa mereka sampai bersikap demikian. Bukan hanya karena merasa terharu sebab anaknya akan hidup di tempat yang lebih baik mau pun karena merasa sedih akan berpisah dengan anak tercinta. Lebih dari itu, mereka pasti lega karena berhasil ‘menyelamatkan’ anaknya.
“Pembangunan Cube sudah selesai dan orang-orang buangan sedang ditangkapi untuk dimasukkan ke dalamnya. Orangtua mana pun pasti lebih memilih menyerahkan anaknya pada orang lain daripada membiarkannya ikut mereka ke Cube,” cetus Lan sambil menoleh ke tempat duduk anak laki-laki itu di belakang. Anak itu masih membisu. Hanya air mata yang menjadi bukti kesedihannya.
Lila tertegun mendengar kata-kata Lan. Mungkinkah dia sudah dijebloskan ke Cube?
“Belum, Lila. Dia masih berkeliaran bebas. Temanku yang bertugas di Cube sudah kuminta agar mengabariku kalau dia dimasukkan ke sana. Jangan khawatir,” lanjut Lan, membaca pikiran Lila.
Lila tidak tahu, apakah ia harus merasa lega atau tidak. Baginya tidak ada pilihan. Dia masih bebas di alam liar yang berbahaya seperti ini atau dimasukkan ke Cube untuk diperbudak dan dianiaya adalah pilihan yang sama beratnya. Dua-duanya sama saja. Membunuh dia pelan-pelan….
Namun, di dunia ini memang berlaku hukum kebetulan. Ini benar adanya. Sebab, hanya sesaat setelah Lila memikirkan dia, lagi-lagi rombongan mereka terpaksa berhenti sesaat.
Mereka terhalang oleh rombongan lain yang sedang melintas di depan mereka. Jika dalam rombongan Lila semua anggotanya menumpangi kendaraan, rombongan lain tersebut hanya terdiri atas delapan kendaraan yang mengawal sekitar seratus orang yang berjalan kaki dengan tubuh terikat dan kaki dirantai. Beberapa di antara bahkan diperlakukan lebih keras dengan terus dicambuki meski sudah kepayahan karena berjalan kaki puluhan kilometer. Keji.
“Mereka pasti orang-orang yang akan dibawa ke Cube!” seru Kit.
Kit tak perlu menyimpulkannya. Semua orang sudah tahu, termasuk Lila dan Lan. Apalagi Lila yang segera mengamati wajah para tahanan itu satu per satu meski bimbang, haruskah ia berharap menemukan wajah yang dikenalinya atau tidak?
Ternyata, ia menemukannya!
Ya, di antara para tahanan yang terus dicambuki, ia menemukan satu wajah yang sangat ia kenali. Wajah yang selama ini ia rindukan dan ia cari secara diam-diam. Meski wajah itu babak belur, Lila yakin, itu wajah dia!
“Kay!” seru Lila, memanggil nama yang ia yakini sebagai nama si pemilik wajah yang selalu ia rindukan itu.
Tanpa peduli pada teguran Lan, Lila segera melompat keluar dari kendaraannya. Ia bergegas menyongsong tahanan yang malang itu.
“Gawat!” cetus Kit panik. Bersama Lan, ia menyusul Lila yang hendak memeluk tahanan tersebut.
“Kay!”
Lila sudah memeluk tahanan itu. Yang dipeluk tampak terkejut. Sesaat kemudian ia tampak panik. Ia menggeleng-geleng dan berupaya menarik tubuhnya dari pelukan Lila.
“Hei, Non! Apa yang kau lakukan?!” bentak seorang pengawal dari atas kendaraannya. Ia hampir mencambuk Lila, namun Lan yang gesit berhasil mencegahnya dengan merebut cambuk tersebut.
Melihat hal itu, para pengawal lain menjadi marah. Sebelum mereka bertindak lebih jauh, Kit berupaya menenangkan.
“Tenang, tenang, Bapak-Bapak. Kami tidak bermaksud jahat. Tunangan saya ini hanya salah mengenali orang,” kata Kit sambil menghapus peluh yang mulai membasahi keningnya.
Lila terhentak mendengar kata ‘tunangan’ yang diucapkan Kit. Anehnya, tawanan yang dipeluknya pun tampak terkejut.
“Aku bu….” Lila hendak protes, namun buru-buru dicegah oleh Lan.
“La, dia bukan Kay, teman kita. Kay ‘kan sudah mati….” potong Lan dengan nada membujuk. Membuat tahanan yang dipeluk Lila memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Tampaknya ia sulit menerima kata-kata Lan, namun tak kuasa menolak.
“Tapi….”
“Sudahlah. Yuk, kita pergi dari sini. Perjalanan kita masih jauh.”
Lila berkeras saat Lan hendak melepaskan pelukannya. Ia masih percaya bahwa yang dipeluknya adalah Kay.
“Tidak. Apa kalian tidak lihat? Dia Kay kita!”
Mencium gelagat buruk, Kit buru-buru menghampiri komandan pasukan pengawal. Mereka kemudian terlibat dalam pembicaraan serius. Sesekali sang komandan melihat ke Lila. Tak lama kemudian, pembicaraan selesai. Sang komandan berpaling pada tahanan yang diduga sebagai Kay tersebut.
“Kau kenal gadis ini?” tanyanya dengan nada membentak.
Jawabannya adalah gelengan perlahan. Namun maknanya dalam.
Lila menatapnya tak percaya. Ia terhenyak oleh penolakan itu.
“Nah, benar ‘kan…. Dia bukan Kay. Kita pergi dari sini, yuk!” ajak Lan, menarik tubuh Lila.
Lila yang sedang terguncang tak melawan lagi. Seperti orang linglung ia memandang kepergian rombongan tahanan tersebut. Air matanya baru mengalir saat rombongannya sendiri mulai bergerak melanjutkan perjalanan. Ia masih percaya bahwa Kay masih hidup.
Namun Lila tidak tahu bahwa sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, Kit berbisik pada Lan.
“Mudah-mudahan orang itu memang bukan Kay.”
“Kenapa? Tapi dia memang mirip sekali dengan Kay.”
“Gawat kalau dia benar-benar Kay. Sebab, menurut komandan, tahanan itu adalah Attila. Tahanan lain yang dicambuki bersamanya adalah anak buahnya. Mereka tertangkap kemarin dan akan diadili di Cube. Kemungkinan akan dihukum mati. Karena ini ‘tangkapan’ besar, tampaknya akan dilaksanakan di depan umum, yaitu di….”
“Citadel One….” sela Lan dengan nada lirih.
Keduanya lalu termenung. Kasihan Lila.
Namun itu belum apa-apa. Lila pun tidak tahu bahwa tahanan yang ia sangka adalah Kay, mati-matian menahan diri agar tidak menengok ke arah Lila. Ia memang lebih suka jika Lila mengira dirinya telah mati agar tak lagi membuat gadis itu larut dalam kesedihan dan kerinduan. Cukup ia saja yang mengalaminya….
mm..ceritanya bagus juga..keep up the good work!!
BalasHapus